Mengingat Nereo Rocco, Sang Maestro Catenaccio AC Milan
Sejarah sepak bola telah menyaksikan manajer-manajer hebat datang dari semenanjung Italia sejak masa-masa awal. Para pemikir dan inovator strategi calcio ini telah memberikan inspirasi di berbagai tempat. Daftar panjang manajer berpengaruh yang datang dari Italia adalah Marcello Lippi, Arrigo Sacchi dan Carlo Ancelotti. Sayang sekali, nama penguasa sistem Catenaccio, Nereo Rocco, sering dihilangkan dari daftar ini.
Dalam sejarah sepakbola AC Milan dan Italia yang terkenal, hanya sedikit pria yang memiliki dampak sebesar Nereo Rocco. Dia bukan hanya mengantarkan Rossoneri ke dua tropi Liga Champions Eropa, ia juga merupakan sosok penting dari pengenalan Catenaccio, sistem pertahanan sepakbola Italia yang sangat terkenal di masanya.
“Tim saya bermain Catenaccio, yang lain hanya memainkan sepakbola yang berhati-hati,” adalah salah satu sanggahan favorit Rocco ketika ditanya tentang filosofinya.
Rocco memulai karir kepelatihan Serie A di tim lokalnya Trieste, di mana ia bermain dan melatih pada musim 1947-48, atau pada era Il Grande Torino. Meski begitu, klub kecil ini di luar dugaan mampu finish sebagai runner-up, 16 poin di belakang juara Torino, dan tepat di atas klub tempat Rocco akan membesarkan namanya, AC Milan. Ini adalah pencapaian terbaik yang dicapai klub tersebut hingga hari ini.
Pada tahun 1961, manajer terkenal AC Milan, Giuseppe Viani, menderita serangan jantung yang serius. Meskipun Milan telah mengangkat scudetto, Viani tahu dia harus menepi dan menyerahkan klub kepada pelatih lain. Pria yang ditunjuk untuk menggantikan Viani adalah Nereo Rocco. Rocco dengan luar biasa langsung mengamankan gelar di musim pertamanya bersama Milan. Meskipun dikenal sebagai master catenaccio sejati, Rossoneri musim 1961-62 perkasa di depan gawang dengan mencetak 83 gol dalam 34 pertandingan.
Pada musim berikutnya, Rocco merekrut pemain asal Brazil, Dino Sani dari Boca Juniors. Bermain sebagai playmaker, kemampuan Sani mencetak gol terbukti menjadi pengganti yang sempurna untuk penyerang Milan saat itu, Jimmy Greaves yang kembali ke Inggris.
Setelah suksesnya di liga domestik, Milan berhasil mencapai final Liga Champions pada 1963. Lawan mereka adalah juara bertahan Benfica yang diperkuat sang legenda, Eusebio. Pertandingan tersebut merupakan pertempuran filosofi dan kemauan. Catenaccio melawan serangan habis-habisan Benfica.
Permainan diawali dengan serangan Milan. Milan yang dikenal dengan catenaccio justru menyerang dengan umpan-umpan langsung ke pertahanan Benfica. Memasuki pertengahan babak pertama Benfica baru mampu memukul balik Milan. Benfica pun mendominasi babak pertama dan mereka mencetak gol terlebih dahulu melalui Eusébio.
Milan yang tertinggal mampu membentuk kembali sistem pertahanan mereka. Benfica tidak mampu menembus pertahanan Milan. Milan justru berbalik unggul melalui Jose Altafini yang mencetak dua gol di babak kedua. Pertandingan pun berakhir dengan skor 2-1 untuk kemenangan Milan. Milan dan Rocco berhasil membawa tropi Liga Champions Eropa ke tanah Italia untuk pertama kalinya.
Jose Altafini memuncaki daftar top skor Liga Champions Eropa saat itu dengan 14 gol. Cesare Maldini, sang kapten dan legenda Milan, dipadukan dengan permainan lini tengah yang brilian dari Rivera, Sani, dan Trapattoni, menjadi kunci pada permainan Milan. Catenaccio adalah jalannya, dan Rocco adalah gurunya.
Setelah memenangkan Liga Champions Eropa pertamanya bersama Milan, Rocco justru pindah ke Torino, klub yang sedang dalam masa pemulihan akibat tragedi Superga. Setelah mencapai hasil yang cukup baik bersama Torino, Rocco kembali lagi ke Milan pada tahun 1967, di mana ia memenangkan scudetto dan Piala Winners.
Musim 1968-69, Rocco berhasil membawa AC Milan menuju final Liga Champions Eropa, dimana lawan kali ini adalah juara Belanda, Ajax Amsterdam yang diperkuat Johan Cruyff. Catenaccio melawan totaalvoetbal!
Rocco menentang desakan media dan publik Italia untuk mengubah sistemnya demi menetralisir Cruyff, dan lebih memilih untuk meyakinkan para pemainnya akan taktiknya dapat membuat mereka mengalahkan Ajax.
"Tendang semua yang bergerak, jika terkena bolanya lebih bagus" adalah caranya mempersiapkan pasukannya. Ia juga memerintahkan untuk "jaga gelandang mereka dari ruang ganti hingga ke toilet!"
Meski menerapkan sistem catenaccio, Milan justru mencetak gol terlebih dahulu lewat Piero Prati pada menit 8 dan 40. Hal ini tentu membuat Ajax terkaget. Jalannya pertandingan di babak kedua pun juga berjalan sama, Ajax tidak bisa membongkar pertahanan Milan. Milan mematahkan setiap serangan yang dilancarkan oleh juara Belanda itu. Cruyff bahkan tidak bisa mendekati bola sama sekali.
Angelo Sormani kemudian justru menambah derita Ajax dengan mencetak gol ketiga Milan, sebelum akhirnya Prati menyelesaikan hat-tricknya. Meskipun Ajax mendapatkan gol hiburan, Milan pada akhirnya mendapatkan piala Liga Champions Eropa keduanya dengan skor akhir 4-1.
Dalam empat musim berikutnya, Rocco berhasil menambah piala melalui Piala Winners dan Coppa Italia, sebelum mengundurkan diri pada tahun 1973. Rocco kemudian kembali ke Milan sebagai Direktur Teknis pada tahun 1977, sebelum ia meninggal di kota asalnya, Trieste pada tahun 1979 pada usia 66 tahun. Dengan stadion yang dinamai sesuai namanya di kota kelahirannya, warisan Rocco terus memikat dan melibatkan penggemar calcio di seluruh dunia.