Ketika Dejan Savicevic Hancurkan Kesombongan Barcelona
Dejan Savicevic (sumber: speedpix/Alamy) |
Saat Dejan Savicevic tiba di Italia pada musim 1992-93, Serie A sedang berada dalam puncak kemegahannya. Kompetisi tertinggi Italia itu dihuni oleh sejumlah pemain terbaik di dunia dan kedatangan Savicevic tentu saja semakin menegaskan kemegahan liga ini di mata dunia.
Sebelum datang ke Milan, Savicevic telah memiliki reputasi yang tinggi kala menjadi runner up Ballon d'Or pada tahun 1991. Sang gelandang serang hanya kalah bersaing dengan pembelian Milan lainnya, Jean-Pierre Papin yang juga tampil menawan.
Kedatangannya di Italia disambut dengan pujian dari rekan setimnya, Marco Van Basten, dan pemilik Milan, Silvio Berlusconi, yang sama-sama memuji keterampilan dan kreativitasnya. Namun pelatih AC Milan saat itu, Fabio Capello, tidak benar-benar menyambut kedatangan Savicevic dengan tangan terbuka. Capello menganggapnya sebagai salah satu transfer berlebihan Berlusconi.
Awal karir Savicevic bersama Milan bisa dibilang tidak berjalan mulus. Jumlah penampilannya bersama AC Milan pun terbatas akibat peraturan saat itu dimana dalam satu pertandingan hanya diperbolehkan memainkan tiga pemain non-Italia.
Savicevic harus bersaing dengan trio bintang Belanda, Ruud Gullit, Frank Rijkaard, dan Marco van Basten, serta pemain Prancis, Jean Pierre Papin dan pemain Kroasia, Zvominir Boban. Ia pun sempat berpikir untuk hengkang di akhir musim, namun Silvio Berlusconi membuat Savicevic mengurungkan niatnya, dan tetap tinggal di Milan.
Savicevic bersama Red Star (sumber: forzaitalianfootball.com) |
"Savicevic adalah pemain yang paling sering saya temui. Dia hampir tidak berlatih, dia hampir tidak bekerja. Dan, ketika dia di lapangan, semua orang harus bekerja dua kali lebih keras sebagai gantinya. Tapi dia bakat luar biasa. Dan kami mengubahnya menjadi superstar," kata Capello dilansir oleh Bleacherreport.com.
Musim kedua (1993-94), Savicevic memiliki kesempatan lebih bermain yang lebih banyak akibat dari hengkangnya Gullit dan Rijkaard, sementara Van Basten masih belum pulih dari cederanya.
Meski demikian, konflik antara dirinya dengan Fabio Capello tetap memanas ketika sang pelatih tidak memainkannya di dua pertandingan penting, yakni melawan Inter Milan dan Juventus. Savicevic secara terang-terangan mengkritik sang bos. Taktik Capello yang cenderung defensif juga dianggap menghambat kreativitas dari Savicevic.
Meski kurang bersinar di Serie A, Savicevic malahan tampil gemilang di Liga Champions Eropa. Di laga semifinal melawan AS Monaco, Savicevic membantu Milan mengalahkan wakil Prancis tersebut dengan skor telak 3-0, dan membawa klub ke laga final melawan Barcelona asuhan Johan Cryuff.
Dejan Savicevic (sumber: gentlemanultra.com) |
Sebagai seorang manajer, Cryuff adalah seorang yang idealis, pencipta "Tim Impian" Barcelona. Dengan keterampilan olah bola Ronald Koeman dan Pep Guardiola, serangan Michael Laudrup dan Hristo Stoichkov, serta finishing akurat dari Romario, Barcelona terlihat sempurna di lapangan. Begitulah, sampai mereka bertemu AC Milan.
Berisi bintang dan menerapkan filosofi permainan yang memukau membuat Barcelona jauh diunggulkan untuk memenangi laga final dibandingkan Milan. Apalagi dalam laga tersebut Milan terpaksa kehilangan beberapa pilar penting.
Dua bek tengah inti Franco Baresi dan Alessandro Costacurta harus absen sementara Gianluigi Lentini dan penyerang Jean-Pierre Papin juga tidak bisa dipanggil karena cedera.
“Pers, terutama media asing, tidak memberi kami peluang (untuk menang),” kata Paolo Maldini saat mengenang permainan itu.
“Barcelona jelas tim yang bagus, tapi kami tahu mereka memiliki kelemahan dan bagaimana mengeksploitasinya dan kami melakukannya dengan kejam.”
Savicevic dan tropi Liga Champions (sumber: uefa.com) |
Capello menyisihkan filosofi catenaccio nya dan mengubah formasi serta pola permainan dari 4-4-2 yang kaku menjadi 4-4-1-1 yang fluid. Mengandalkan trio Zvonimir Boban, Demetrio Albertini, dan Marcel Desailly yang terus-menerus bergerak di lini tengah untuk meredam serangan Barcelona.
Perubahan ini memberi dampak yang luar biasa pada Savicevic yang leluasa menyerang karena dibebaskan dari tanggung jawab untuk bertahan.
Savicevic sangat menginspirasi dan penampilannya terkenal sebagai salah satu yang terbaik sepanjang sejarah laga final Liga Champions Eropa. Ia menunjukkan bahwa keputusan Berlusconi untuk mempertahankannya di klub adalah yang terbaik saat Milan menghancurkan Barcelona 4-0.
Capello dan Berlusconi (sumber: Getty Images)
Capello mengatur timnya untuk melakukan serangan balik dengan cepat dan hanya menekan setiap kali Barcelona mengancam untuk melewati garis tengah.
Desailly menunggu di belakang saat Albertini menekan Guardiola yang banyak menguasai bola. Sementara dua gelandang Milan lainnya, Boban dan Roberto Donadoni, naik untuk menekan bek sayap Barca.
Tekanan bertubi-tubi ini yang menyebabkan gol pertama Milan. Boban berhasil memenangkan duel untuk menguasai bola liar yang kemudian diberikan pada Savicevic.
Mengalahkan pemain Barca, Miguel Angel Nadal, sang gelandang serang menendang bola ke arah Daniele Massaro yang menuntaskannya dengan gol.
Daniele Massaro (sumber: Getty Images) |
Savicevic juga berperan dalam gol kedua Milan yang kembali dicetak Massaro. Berbeda dengan gol pertama yang lahir melalui serangan balik, gol kedua ini lahir melalui kerja sama apik antara Savicevic, Boban, Tassotti, dan Donadoni.
Namun momen brilian Savicevic yang sebenarnya muncul di awal babak kedua. Berlari ke sisi kanan untuk menutup pergerakan Nadal, ia berhasil merebut bola dan melihat Zubizaretta jauh dari posnya, ia melambungkan bola dari tepi kotak penalti yang dengan indah masuk ke dalam gawang.
Savicevic menambah penderitaan Barcelona setelah tembakannya mengenai gawang dan disambar oleh Marcel Desailly yang mengkonversinya menjadi gol keempat Milan.
Milan keluar sebagai juara dengan skor telak, 4-0. Malam yang brilian dari Savicevic.
Milan rayakan tropi Liga Champions Eropa (sumber: Getty Images) |
Dua musim berikutnya merupakan musim yang produktif bagi Savicevic dimana ia mencetak total 20 gol dari 58 pertandingan. Selama waktunya bersama AC Milan ia memenangkan tujuh trofi, termasuk tiga Scudetto, satu Liga Champions Eropa dan satu Piala Super Eropa.
Dejan Savicevic adalah playmaker klasik, dengan visi yang sangat luas, sentuhan halus dan kejelian tinggi untuk memilih umpan yang tepat. Tapi ketidaktertarikannya di sisi pertahanan permainan dan inkonsistensinya sering membawa kemarahan Fabio Capello dan media Italia.
Sumber referensi: